Hal itu tidak terlepas dari prinsip kegiatan usaha berbasis syariah, sebagaimana dikutip dari laman resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (2020), berkaitan dengan keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemashlahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), dan tidak mengandung gharar (keraguan/ketidakpastian), maisir (judi/untung-untungan), riba (tambahan/bunga), zhulm (zalim), risywah (suap-menyuap), dan objek haram lainnya. Dalam hal ini, leasing yang menjadi salah satu produk keuangan syariah, wajib memenuhi prinsip ini.
Perusahaan sewa guna usaha (leasing) syariah sendiri adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) yang digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan prinsip syariah (Soemitra, 2010, hlm. 49). Perbedaan fundamental antara leasing syariah dengan konvensional terletak pada mekanisme pembiayaannya.
Muhammad Syakir, selaku Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (2021), menjelaskan bahwa transaksi dalam pembiayaan syariah akan dilakukan pemberian pinjaman selaku “penjual”, sedangkan pembiayaan konvensional memposisikanya sebagai kreditur. Selain itu, hal yang menjadi sorotan adalah objek sewa. Pertama, lembaga pembiayaan (penjual) wajib memiliki barang yang hendak disewakan kepada peminjam.
Selanjutnya, perusahaan menjual barang itu kepada konsumen dengan harga yang telah disepakati di awal dengan menegaskan harga beli ditambah biaya-biaya lainnya, seperti biaya perolehan dan keuntungan. Menurut Syakir, dikutip CNN Indonesia (2021), “Kelebihannya karena dia sudah sepakat cicilannya berapa dari margin dan tidak pakai bunga yang cenderung ikut kebijakan bank sentral. Tetapi menguntungkan mana, itu masalah manajemennya." Dengan kata lain, perbandingan antara konvensional dan syariah (masih) terletak pada kecenderungan riba.
Bila dibandingkan dengan leasing konvensional, pola riba terlihat ketika diberikannya uang pinjaman dari pembiaya (kreditur) ke penyewa untuk membeli barang kebutuhan usahanya ke penyuplai. Lalu, di saat yang bersamaan, “penyewa” terikat untuk membayar pinjaman “uang” yang disertai dengan bunga ke pembiaya. Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Transaksi, sebagaimana dikutip Republika.co.id